Jakarta

Ikhlas Itu Untuk Siapa ?

Published

on

Rohul Abdullah Muhammad Syamsoe Bulganon Amir (Abang). (Foto : RASI/Ist).

BalainNews.com, JAKARTA – Mari kita telusuri tentang “Ketika Tuhan menakar kadar ikhlas..”

Banyak yang sulit mengambil mutiara dan esensi dari pengetahuan ini kebanyakan terjebak hanya pada alurnya saja.

Saya jadi teringat ketika seorang sahabat berkata, “Aku ikhlaskan semua karena Tuhan..” Saya balik bertanya, “Betulkah Tuhan membutuhkan keikhlasan-mu ?”

Pertanyaan saya yang mendadak itu membuatnya kaget dan tergagap. Saya tertawa…..karena itu sebenarnya hanya permainan membalik kata.

Tuhan sungguh tidak membutuhkan apa2 dari kita. Bagaimana bisa IA Sang Pencipta membutuhkan sesuatu dari ciptaan-Nya ? Sungguh itu meng-kerdilkan kebesaran-Nya, yang ternyata hanya kita pahami dengan keterbatasan kita saja.

Ketika Tuhan memerintahkan hamba-Nya untuk “Ikhlas”, itu bukanlah untuk-Nya…… sama sekali bukan !.

Kita tidak ikhlas-pun, tidak akan berpengaruh terhadap ke-Mahaan- Nya.

Sama seperti ibadah. Kita mau nungging, mau maki-maki Tuhan, mau tidak mau mengakui-Nya, tidak akan meruntuhkan kebesaran-Nya. Matahari tetap bersinar, alam semesta tetap bergerak sesuai porosnya, daun-daun tetap tumbuh dan burung tetap berkicau dengan riangnya.

Jadi untuk apa kita harus ikhlas ? “Tentu untuk diri kita sendiri”

Ikhlas itu adalah kemerdekaan diri. Penolakan terhadap sifat kebendaan yang melekat dalam diri.

Perubahan cara berfikir bahwa kita tidak pernah sedikitpun memiliki.

Bahwa semua yang ada di kita hanyalah “TITIPAN” dan tidak bersifat abadi. Bahwa hidup ini hanyalah menumpang saja dan kita diberikan fasilitas untuk berfungsi serta menikmatinya.

Dan ketika rasa ikhlas itu dilatih, maka perlahan2 kita akan menemukan diri kita stabil. Tidak mudah goyah dan tidak merasa kecil dengan sesamanya.

Jiwa menjadi tenang dengan dada yang lapang. Jika sudah sampai pada tahap ini, lihatlah, senyum selalu mewarnai wajahnya dan keceriaan selalu terpampang pada hidupnya serta segala bentuk ketakutan akan.menjauh dari dirinya, sehingga kesehatannyapun bukanlah suatu kendala bagi kehidupannya dan pada puncaknya ia akan selalu mahir mensyukuri diatas segala kejadian dan rasa hidupnya. Karena ia sangat meyakini bahwa hidup ini hanyalah sebuah game (permainan) dari Pencipta Nya.

Itulah kenapa di kitab suci, anak dan istri tidak disebut sebagai harta tetapi sebagai cobaan saja. Dengan begitu, seharusnya kita memahami bahwa yang dinamakaan “cobaan” sifatnya adalah menguji.

Ujian itu tentu sebagai pelatihan, sebagai ajang untuk menemukan diri sendiri.

Bukan untuk Tuhan !!.
Tuhan tidak membutuhkan apa-apa. Ketika Tuhan berfirman, “Dekatlah pada-Ku…” itu supaya manusia tidak kehilangan-Nya, karena kehilangan-Nya adalah kerugian yg terbesar bagi manusia. ia akan Tersesat dalam ketidak-tahuan dan terperangkap dalam kegelapan hati diatas Kuasa Tuhan nya.

Jadi, kembalikan rasa ikhlas itu kepada diri sendiri, untuk kepentingan kita pribadi. Tidak perlu mengukur2 orang lain yang memanfaatkan ke-ikhlasan kita. Itu urusan dia dengan dirinya sendiri dan Tuhan-nya.

Ikhlas itu adalah hakekat dari pencaharian spiritual yang tinggi.

Siapa yg mau….pasti bisa, selalu berkaca dirilah…jangan lengah dan lalai. Mari kita meraih kemenangan dalam kehidupan dan diri kita. [rivani]

Oleh : Rohul Abdullah Muhammad Syamsoe Bulganon Amir (Abang)

Populer

Exit mobile version